Konsumerisme dan Pelemahan Rupiah

Konsumerisme dan Pelemahan Rupiah

Unknown | 2:49 PM | 0 comments
Konsumerisme-dan-Pelemahan-Rupiah
Belum stabilnya rupiah masih terasa sampai dengan saat ini. Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus terpantau sampai menembus Rp 11.195 pada 7 Oktober 2013 (GATRA). Bahkan, pengamat Ekonomi Rizal Ramri memprediksi bahwa nilai rupiah terhadap dollar bisa menembus Rp 13.000. Walaupun Menteri Keuangan RI, M.Chatib Basri sempat mengeluarkan 4 paket kebijakan beberapa bulan yang lalu, namun pasar tidak merespon positif terhadap upaya penanganan kondisi perekonomian domestik ini.

Salah satu yang juga mengkhawatirkan dari rentetan tragedi potensi krisis ini adalah defisit neraca perdagangan. Tercatat defisit neraca perdagangan pada Juli 2013 sebesar 2,3 milliar dollar AS dibandingkan defisit pada Juni 2013 sebesar 0,9 milliar dollar AS. Defisit neraca perdagangan ini paling besar berasal dari Impor di sektor Minyak dan Gas (Antaranews.com). Dalam kaitannya ini tentu saja ada tanggung jawab paralel antara Kementrian Perdagangan RI dan Kementrian ESDM RI terhadap realita defisit neraca perdagangan pada tahun 2013 ini.

Konsumerisme
Memang kita tidak bisa begitu saja melepaskan fakta melemahnya nilai tukar rupiah ini dari perspektif konsumerisme. Budaya konsumsi dan hidup bermegah-megahan sudah menjadi ikon masyarakat Indonesia di mata dunia. Tak pelak negara-negara barat berburu pasar di Indonesia untuk menancapkan pengaruh bisnisnya di negeri berpenduduk 250 Juta orang ini. Pasar yang empuk memang untuk negara-negara barat merebut pundi-pundi kekayaan disini dengan mengawinkan budaya hedon masyarakat kita.

Pada sektor pangan, tercatat bahwa Konsumsi beras per kapita orang Indonesia per tahun mencapai 139 kg, konsumsi beras ini tercatat tertinggi di dunia. Impor beras ini parahnya lagi justru dari negara tetangga seperti Thailand dan Myanmar yang notabene memiliki lahan sawah lebih kecil dari Indonesia (detik.com). Kuantitas beras yang diimpor ini ternyata tidak sepenuhnya habis untuk biaya konsumsi masyarakat, akan tetapi menyelinap masuk ke dalam kegiatan industri yang jumlahnya cukup besar menarik jatah konsumsi masyarakat Indonesia.

Kemudian lihat saja pada bisnis ponsel. Ponsel adalah produk kelima terbesar barang yang diimpor dari luar negeri oleh Indonesia. Pada Juni 2013 saja dana yang harus dikeluarkan oleh negara sebesar 1,2 milliar dollar AS. Sedangkan total biaya impor ponsel pada tahun 2012 mencapai 2,6 milliar dollar AS (VivaNews). Kementrian Perindustrian RI pun mengatakan bahwa kegiatan mengimpor ponsel ini menjadi penyebab defisitnya keuangan negara.

Pada bisnis automotif, Indonesia sering melakukan kerjasama bilateral dengan beberapa negara, salah satunya Jepang. Pada zaman Presiden Soeharto, ada kebijakan larangan mobil impor di atas 3000 cc. Akan tetapi, pada rezim saat ini, justru mobil di atas 3000 cc sudah tak mampu terbendung. Dampaknya tentu saja ganda. Pertama biaya impor kita yang menggunakan dollar AS menjadi besar dan kedua konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) semakin meningkat yang berujung pada upaya impor Migas. Menurut Kementrian Perindustrian RI, pada kesepakatan IJEPA (Indonesia Japan Economic Partnership Agreement) yang sudah dimulai sejak 1 Juli 2008 saja memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap biaya tarif impor yang mengalami degradasi cukup besar. Semula tarif impor yang dikenakan sebesar 45%, namun, berdasarkan IJEPA ini, tarif impor turun menjadi hanya 4% untuk mobil-mobil di atas 3000 cc. Wajar saja jika kemudian kita semakin tidak berdaya dan ditambah budaya konsumtif warga kelas menengah atas yang tidak ingin ketinggalam kesempatan untuk menaikan strata sosialnya di masyarakat.

Fakta bahwa budaya konsumsi Indonesia yang cukup tinggi ini terutama pada barang-barang mewah menyebabkan biaya yang harus dikeluarkan negara untuk membayar itu semua cukup membebani. Sampai sejauh ini masyarakat memang tidak sadar jika potensi krisis di tahun 2013 ini lebih besar diakibatkan oleh kosumerisme laten masyarakat Indonesia.

Tantangan Krisis Ekonomi 2013
Melihat gejolak pasar akibat terus tidak pastinya rupiah dalam perdagangan internasional, banyak dari para spekulan kemudian bermain layaknya George Soros ketika krisis Asia tahun 1997/1998 dengan melarikan uangnya ke negara lain secara mendadak. Efek ini dipastikan akan berpotensi pada kejadian yang sama seperti pada tahun 1997/1998. Tanda-tandanya antara lain melemahnya bath di Thailand sampai impor kedelai yang begitu sulit.

Kekhawatiran ini ditambah lagi dengan cadangan devisa kita yang menurut Bank Indonesia hanya sebesar 93 milliar dollar AS pada akhir Agustus 2013. Cadangan devisa ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk bisa mendongkrak kebutuhan-kebutuhan infrastruktur sampai mengimpor barang-barang mewah.

Satu-satunya cara yang paling tepat dilakukan oleh masyarakat Indonesia adalah dengan menggeser pola hidup dari yang konsumtif menjadi produktif. Paling tidak masyarakat Indonesia mulai menurunkan kadar konsumsi mereka terutama dari barang-barang mewah yang berasal dari negara-negara asing.

M.Reza S.Zaki S.H. (@RezaSZaki)

Category:

About Kompasianu.blogspot.com:
Kompasianu blog, berisi artikel pilihan dari kompasiana.com. Kami memilih dan menshare artikel artikel menarik yang dapat bermanfaat bagi pembaca. Anda dapat menemukan artikel mengenai teknologi, kesehatan, hiburan, otomotif, lifestyle, politik, wisata dan chit-chat!

0 comments